TUTUP TPL
TUTUPTPL – #CABUTIJINTPL
Tulisan Bpk Nestor Rico Tambun -10 November 2025

Hari ini, Senin, 10 November 2025, aliansi berbagai organisasi dan gerakan #TUTUPTPL melaksanakan aksi besar ke Kantor Gubernur Sumatera Utara, di Medan. Aksi ini akan diikuti ribuan massa yang terdiri dari pimpinan gereja dan pendeta/pastor/suster, ulama, mahasiswa, masyarakat adat, petani, kaum profesional, pecinta lingkungan, dan banyak lembaga swadaya di Sumut.
Apapun kata orang, gerakan ini semestinya didukung. Dosa Indorayon/TPL sudah terlalu banyak. Pemerintah, siapa pun tak boleh lupa, pemberian ijin pada perusahaan ini, dan dukungan kelanggengannya, mengandung banyak kesalahan. Kesalahan-kesalahan itu sangat gamblang.
KESALAHAN 1.
Sejak awal, Prof. Emil Salim, Menteri Lingkungan Hidup ketika itu, dan ahli lingkungan Prof. DR. Otto Soemarwoto menentang rencana pendirian pabrik pulp dan rayon PT Inti Indorayon Utama (IIU).
Alasan pertama, kawasan Tapanuli, lokasi hak penguasaan hutan (HPH) Indorayon adalah kawasan hutan alam yang berkontur Lembah dan bukit (bukan hamparan datar) yang rawan longsor. Hutan-hutan tersebut kaya flora dan fauna, dan sangat dibutuhkan untuk sumber air bagi kehidupan, pertanian, dan suplai air untuk Danau Toba.
Alasan kedua, industri pulp dan rayon adalah “dirty industry”, industri kotor yang tidak seharusnyaa ada di hulu, tapi di hilir.
Tapi Menristek/Kepala BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) Prof. BJ Habibie mendukung, karena perintah Presiden Soeharto. Entah karena pemilik Indorayon, Soekanto Tanoto, kenal langsung Soeharto, atau melalui salah seorang anak atau menantunya (rahasia umum saat itu), tak mungkin ada yang bisa membantah Soeharto, termasuk BJ Habibie.
KESALAHAN 2
Tanggal 19 November 1983, PT Inti Indorayong Utama (IIU) mendapat hak penguasaan hutan (HPH) seluas 150.000 hektar, mencakup hutan pinus Merkusii di berbagai kapupaten di Sumatera Utara.
Ini ijin yang konyol dan korup. Hutan pinus Merkusii dibuat dan dirawat sejak zaman Belanda. Pohon ini ditebangi bukan untuk bahan baku PT Inti Indorayon Utama, karena ijin ijin operasi PT IIU sebagai industri pulp (bahan baku kertas) dan rayon (bahan baku tekstil) baru keluar 13 November 1986. Kayu pinus ini ditebangi dan dikirim ke pabrik kayu milik Soekanto Tanoto yang lain. Ijin yang curang.
Ijin HPH ini kesalahan fatal, karena diberikan tanpa pemetaan. Kawasan Tapanuli bukan kawasan kosong, tapi pemukiman, huta-huta marga orang Batak yang sudah berlangsung ratusan tahun. Hutan dan tanah di Tano Batak mayoritas tanah ulayat milik marga-marga. Kepemilikan tanah di Tano Batak berkaitan dengan geneologis. Itu sudah menjadi hukum positif tenurial dalam masyarakat Batak selama puluhan generasi, beratus-ratus tahun.
Pemberian konsesi HPH tanpan melalui pemetaan dan penetapan batas-batas itulah yang menimbulkan konflik di mana-mana. Bahkan lahan pabrik Indorayon di Sosorladang, Porsea, adalah milik marga Sitorus, yang sampai sekarang berkonflik antara yang memberikan ijin dan yang menentang. Indorayon. Indorayon menimbulkan perpecahan-perpecahan sosial sejak awal. Tapi, dengan konflik seperti itu, tahun 1992, Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap malah memperluas memperluas ijin HPH Indorayon ini menjadi 269.060 hektar.
KESALAHAN 3
Konflik-konflik pertanahan, pabrik yang menimbulkan bau busuk sampai puluhan kilometer, jebolnya dam penampung limbah dan meledaknya tabung gas klorin yang sempat menimbulkan chaos ketakutan, akhirnya menimbulkan unjuk rasa besar, dan memakan korban jiwa.
Unjuk rasa penutupan Indorayin ini didukung pihak gereja, pada pendeta. Tapi, tiba-tiba gereja besar berjemaat orang Batak, HKBP, mengalami konflik. Pemerintah campur tangan dalam konflik itu, dengan mendukung satu pihak, melalui institusi militer (Pangdam). Believe or not, itu seperti dukungan tersembunyi terhadap Indorayon. Sejak konflik gereja terbesar itu, perlawanan terhadap Indorayon melemah, namun bukan berarti berhenti.
Berbagai pengaduan tentang konflik dan degradasi lingkungan yang ditimbulkan Indorayon membuat Presiden BJ Habibie menutup operasional Indorayon pada Maret 1999. Barangkali Pak Habibie merasa berdosa pada pemaksaan pemberian ijin pada perusahaan itu.
Tapi apa yang terjadi? Mei 2002, sidang kabinet pada masa pemerintahan Presiden Megawati menyetujui Indorayon beroperasi kembali. Nama PT Inti Indorayon Utama (IIU) diganti menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL). Ditetapkan TPL tidak lagi memproduksi rayon, hanya pulp.
Layak ditanyakan kepada orang-orang Batak yang saat itu menjadi orang elite dalam partai Megawati (PDIP). Pemberian ijin itu lahir setelah Taufik Kiemas, suami Megawati, berkunjung ke Toba. Soekanto Tanoto tidak peduli protes akar rumput. Ia bermain di puncak pemerintahan. Dari zaman Presiden Soeharto, Megawati, Presiden SBY dan Jokowi, mungkin juga sekarang. Sebab, sebanyak dan sekeras apapun protes, sebrutal apapun perusahaan itu terhadap masyarakat, tetap tak langgeng.
TAK BERGUNA
Dosa TPL sudah terlalu banyak. Penghancuran kawasan hutan alam, dengan kerusakan lingkungan turunannya. Pengrusakan jalan selama puluhan tahun dengan truk-truk over tonase. Kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat. TPL seperti sebuah penjajahan terang-terangan di era merdeka, dan negara mendiamkan bahkan, mendukung. Apapun kekerasan yang dilakukan pegawai TPL, Polisi seperti diam, bahkan jelas-jelas seperti alat TPL melakukan kriminalisasi kepada tokoh-tokoh masyarakat adat.
Selalu ada alasan TPL memberi manfaat. Ya, mungkin buat sedikit orang yang bekerja, menjadi kaki tangan, dan pendukungnya. Menurut Laporan Akhir Tahun 2019 PT Toba Pulp Lestari Tbk., perusahaan itu merugi, tidak untung, yang berarti tidak perlu membayar pajak. Tapi masih memiliki pajak terhutang 57.000 $ US. Tenaga kerja tetap TPL hanya 600-an orang dan tenaga lepas 400-an orang.
Perusahaan yang merugi, dengan konsesi begitu besar, dengan jumlah pekerja sedikit, tidak membayar pajak, tapi menimbulkan kerugian ekologis dan sosial besar, akal sehatnya tidak perlu bagi negara dan masyarakat. Dari sisi manfaat, perusahaan ini tidak ada. Ini jelas bukan industri strategis. Perusahaan ini hanya berguna untuk pekerja-pekerja pendukungnya yang sedikit itu.
Jadi, adalah tepat kalau aksi aliansi gerakan #TUTUPTPL dilakukan kepada pemerintah. Alasan TPL dan pendukungnya, termasuk Gubernur Sumut Bobby Nasution belum lama ini, TPL punya alas hukum (ijin). Ijin ini yang tidak benar. Ijin yang tidak benar dari Soeharto mestinya tidak didukung presiden dan pemerintah berikutnya. Dalam hal ini Menteri Kehutanan paling bertanggung jawab.
Jadi seharusnya CABUT IJIN TPL. Kementarian yang seharusnya menjaga dan merawat hutan tak seharusnya memberi ijin kepada pengrusak hutan dan lingkungan. Selain me nuntut Kementerian Kehutanan mencabut ijin TPL, protes juga layak kepada Polda Sumut dan Kapolri. Polisi di wilayah Tano Batak (Sumut) lebih berperan sebagai penjaga TPL daripada pelindung Masyarakat.
Saya putra Toba. Dari sejak awal saya menyimpan kemarahan dan sakit hati atas kebrutalan perusahaan ini. Menurut saya, ini seperti penjajahan dan penghinaan terhadap Tano Batak dan Bangso Batak.
Mau perbandingan? Perusahaan rokok Djarum hampir seabad, dengan pekerja 60.000, sangat banyak membangun dan melakukan CSR di Kudus. Begitu pula perusahaan rokok Gudang Garam di Kediri. Mereka bahkan jadi sumber pajak terbesar bagi Negara RI. Tapi tidak pernah terdengar mereka mengintimidasi, mempolisikan, mengadili, memukuli anggota masyarakat, seperti yang dilakukan Indorayon/TPL.
Kalau saya pribadi ditanya, saya akan bilang perusahaan ini dan pendukungnya, mestinya di-pati-kan atau di-nepal-kan. Tano Batak dan Bangso Batak seperti punya harga diri dibuat pengusaha Cina sangat kaya ini. Tapi, saya tahu, keinginan saya pribadi tak boleh dibiarkan. Jadi sayaCuma bisa bilang: #TUTUPTPL dan #CABUTIJINTPL.
Selamat berjuang teman-teman, Amang Inang masyarakat adat Tano Batak!
